Tuesday, 29 April 2014

Ketika Menjemput Hidayah

Dia mengenal dunia pergerakan dakwah Islam sudah sejak di Aliyah/SMA. Bahkan juga berterima kasih kepada jam'ah tersebut yang telah memperkenalkan "the true way of life" ini.
Suatu hari ia tertarik membaca buku dan majalah Islam koleksi saudara laki-laki tertuanya yang begitu eksisnya dalam kegiatan ke Islaman, disamping kuliahnya yang ternyata kala itu angkatan 1999 trend Mujahid Sejati adalah "lama tamat". Tetapi ia tidak mengetahui betul apa nama dan fikroh yang digeluti oleh saudara  tertuanya tu. Tanpa berusaha menggali lebih jauh dengan yang bersangkutan, ternyata ia sudah terlebih dahulu dipertemukan teman satu kampung tetapi berbeda sekolah, yang juga memiliki buku dan majalah yang sama, yaitu al-Wa’ie. Hampir 1 tahun juga berjalan mengikuti Halaqohnya, yang kadang juga tidak begitu rutin, tetapi cukup mempengaruhi cara pandang, sampai begitu semangatnya kalau sudah ada agenda Masyiroh (Aksi Kejalan), tidak segan-segan untuk ikut ke kota dengan perjalan 1 jam. Bahkan effect nya masih ada sampai dibangku kuliah. Ketika itu diadakan pemilihan kepala daerah setingkat gubernur tahun 2008, rasa enggan untuk ikut mencoblos begitu mempengaruhi seperti ada perasaan fly saja... (Tapi jika seperti ini dahulu juga dirasakan perihnya perjuangan, pasti lebih deras lagi air mata ini menetes).

Dibangku perkulihan, aktifitasnya di Jamaa'h tersebut ternyata dilakoni juga tdk begitu eksis kembali, karena teralihkan oleh agenda-agenda Asrama Bahasa dan perkuliahan yang padat. Padahal ia waktu itu tinggal sekamar dengan senior di fakultas dan sekolah dulu, yang ternyata juga pentolan chapter campus nya. Tapi entah kenapa kakak itu terlihat begitu segan untuk kembali me-refrest doktrin-doktrinnya, ya sudah lah.. munkin sudah ketentuan Allah…...

Semester 2 di bangku perkuliahan ternyata Allah mempertemukan dengan seorang Ustadz PNS yang ternyata menjabat juga sebagai ketua Ikatan Da'i Indonesia setingkat kota. Berawal dari arahan seorang pembina Remaja Mesjid tempat saya menumpang tinggal yang juga disebut JaMes, Jaga Mesjid. Akhirnya diperkenalkanlah ia dengan sarana dakwah dengan wajah yang lain. Tanpa muluk-muluk, pertemuan pertama sang ustadz langsung memperkenalkan nama jama'ah dakwah itu, tapi karena masih terasa effect doktrin yang lama, suasana pertemuan liqo’at berjalan tanpa banyak pertanyaan dari para mad'u, termasuk dirinya sendiri tidak bertanya sedikitpun.

Pertemuan pun terus berlajut, karena selalu diintrogasi oleh sang pemina RM. Akhirnya terjadi rasa keanehan, begitu pedulinya beliau terhadap aktivitas pertemuan pekanan itu. lambat laut ia menjadi merasa ada kenyamanan. Sikap sang ustadz dan si pembina itu, juga ditambah suasana sekitar asrama yang ternyata banyak anak-anak Muslim Negarawan nya. Walaupun masih terjadi pergolakan pemikiran antara menerima model dakwah siyasi ini atau tidak.

Puncak penuntutan untuk lebih eksis dalam halaqoh baru ini, ketika terjadi diskusi ia dengan saudara tertuanya atau si penjerumus bergelar MA (mahasiswa abadi), mengenai perbedaan fiqroh-fiqroh pergerakan Islam yang ada, yang ternyata baru belakangan diketahui kalau beliau juga adalah aktivis Muslim Negarawan juga di periode-periode transisi eksternalisasi Aktivis Dakwah Kampus ke Jalanan (Aksi). Yah.. walau pun sampai sekarang ia tidak mengetahui kenapa bisa ada buku-buku dan majalah itu dirumah.

Setelah diskusi, ia mulai berfikir, dan membuka kajian-kajian fikih, membaca sejarah, dll.. Akhirnya berani mendefinisikan sendiri, bahwa sesuatu yang haram bisa jadi boleh, jika dalam kondisi darurat. Nah, kondisi Ummat sekarang ini sudah sangat sekarat, tidak munkin hanya berjalan kaki untuk menjemput dan memberikan pertolongan, tetapi butuh namanya kendaraan. Atau sistem ini sebenarnya juga tidak ada bedanya dengan yang telah dipraktekkan Rasulullah, hanya perkembangan saja, nilai "oleh rakyat" sebagai suatu tindakan yang bukan dimaknakan sebagai mengkerdilkan Tuhan. Tapi ini semuakan hasil pemikiran manusia, yang suatu saat bisa tidak relevan lagi, seperti konsep Wali Mujbir, seorang ayah dapat memaksakan menikahkan gadisnya dengan seorang lelaki yang ia senangi, dalam fiqih Syafi'i. Ya, bisa saja berubah, tidak mustahil kan? Tinggal bagaimana para pembuat peraturan/ uu itu diisi oleh orang-orang yang bervisi semua itu, sembari juga memahamkan masyarakat. Kenapa tidak?


Ketika hati nya sudah mulai melunak, ternyata aktifitas dan agenda sang ustadz semakin padat, sehigga mau tidak mau ia harus mengungsi ke kampus guna terus mendapatkan suasana indah dan nyaman tersebut (halaqoh pekanan), itu pun karena ajakan dari teman-teman asramanya. Mulai dari mengikuti agenda Open House sebuah lembaga dakwah kampus sampai akhirnya mengikuti perekrutannya. Tahun 2008 menjadi titik tolak ketotalitasan diri, dan hati nya kepada jama’ah ini. Awal menjadi pengurus lembaga, langsung diamanahi mengkoordinatori sebuah departemen. Tahun berikutnya ternyata lebih berat lagi (Ketua Umum). Rasa amat berat sekali dirasakannya ketika pertama kali dipaksa untuk mengiyakan kesiapan menjadi kandidat. Dan mulai dari itulah betul-betul merasakan dan memahami duka dan sukanya. Insya Allah jika sudah menyerahkan semua kepada Allah, tidak akan ada rasa suka yang membuat lupa, rasa duka yang membuat kecewa. Ia tipe orang yang setia, jadi Insya Allah sampai akhir hayat ia akan terus bersama jama’ah ini. Namanya juga sudah cinta, karena Allah….