Bukan Indonesia namanya, jika konsisten. Entah dasar apa, ketidakkonsistenan ini amat dekat dengan Indonesia.
Tapi apakah itu buruk?
Munkin buruk, munkin juga ada baiknya..
Kenapa?
Karena dengan ciri khas tidak konsisten, Indonesia menjadi semakin terbuka dalam berbagai hal.
Hukum, pada dasarnya bersistem eropa kontinental (Perancis dan bekas jajahannya) dengan UU, tetapi juga mengadopsi Anglo Saxon (Inggris dan bekas jajahannya) dengan Yurisprudensi (keputusan hakim). Nah, jangan salahkan hakim jika putusannya aneh..
Politik, mengklaim demokrasi yang ciri khas pancasila (lokal). Setuju, tidak setuju, demokrasi memang diakui seluruh dunia punya gaya masing-masing. Yup, Indonesia kini dengan sistem election terbuka malah menunjukkan keliberalan dengan gaya tata krama..
Ekonomi, lagi-lagi sistem ekonomi pancasila, yang bukan kapitalis, sosialis, Islam, tetapi mengadopsi sebagian-sebagian. Harga BBM sudah dilempar ke pasar, impor bahan pokok tanpa kran. Lha, LKS nya pada sesak nafas untuk eksis, konon lagi murni..
Sosial, sudah pada tau lah, kini minoritas tidak menghargai mayoritas. Toleransi sudah bergeser makna dengan mayoritas harus mengalah demi minoritas.
Pendidikan, kecerdasan masyarakat hanya ditentukan oleh nilai lembaran soal teks. Ijazah/ sertifikat menjadi syarat utama agar dapat diakui punya kepantasan. Memang, konstitusi juga masih mencantumkan setiap warga negara berhak medapatkan pendidikan, pasal 31 ayat (1) UUD 45. Tapi yang harus mengalah lah bagi yang tidak mampu untuk diangggap sebagai warga negara, karena tidak mendapatkan haknya berupa ijazah/ sertifikat.
Jika mau menambahkan..
Silahkan...
Silahkan...